Sabtu, 14 Mei 2011

simbiosis ilmu dan amal

Oleh: Ahmad Muhammad
Dalam sebuah ayat al-Qur’an dikatakan,
“Dan janganlah engkau turut apa-apa
yang engkau tidak ada ilmu padanya,
sesungguhnya pendengaran, penglihatan
dan hati, semuanya akan ditanya,” (Al-
Isra: 36). Ayat al-Quran tersebut
menjelaskan bahawa ilmu merupakan
dasar dari segala tindakan manusia.
Kerana, tanpa ilmu segala tindakan
manusia menjadi tidak terarah, tidak benar
dan tidak bertujuan.
Kata ilmu berasal dari kata kerja ‘alima,
yang bererti memperoleh hakikat ilmu,
mengetahui, dan yakin. Ilmu, yang dalam
bentuk jamaknya adalah‘ulum, ertinya
ialah memahami sesuatu dengan
hakikatnya, dan itu bererti keyakinan dan
pengetahuan. Jadi ilmu merupakan aspek
teoritis dari pengetahuan. Dengan
pengetahuan inilah manusia melakukan
perbuatan amalnya. Jika manusia
mempunyai ilmu tapi miskin amalnya,
maka ilmu tersebut menjadi sia-sia.
Dalam beberapa riwayat di jelaskan
tentang hubungan ilmu dan amal itu.
Imam Ali Abi Thalib berkata,“Ilmu adalah
pemimpin amal, dan amal adalah
pengikutnya.” Demikian juga dengan
perkataan Rasulullah saw , “Barangsiapa
beramal tanpa ilmu maka apa yang
dirusaknya jauh lebih banyak dibandingkan
yang diperbaikinya.”
Pada riwayat lain dijelakan Imam Ali Abi
Thalib berkata,“Ilmu diiringi dengan
perbuatan. Barangsiapa berilmu maka dia
harus berbuat. Ilmu memanggil perbuatan.
Jika dia menjawabnya maka ilmu tetap
bersamanya, namun jika tidak maka ilmu
pergi darinya.”
Dari riwayat di atas maka jika orang itu
berilmu maka ia harus diiringi dengan
amal. Amal ini akan mempunyai nilai jika
dilandasi dengan ilmu, begitu juga dengan
ilmu akan mempunyai nilai atau makna jika
diiringi dengan amal. Keduanya tidak dapat
dipisahkan dalam perilaku manusia. Sebuah
perpaduan yang saling melengkapi dalam
kehidupan manusia, yaitu setelah berilmu
lalu beramal.
Pengertian amal dalam pandangan Islam
adalah setiap amal saleh, atau setiap
perbuatan kebajikan yang diredhai oleh
Allah SWT. Dengan demikian, amal dalam
Islam tidak hanya terbatas pada ibadah,
sebagaimana ilmu dalam Islam tidak hanya
terbatas pada ilmu fikih dan hukum-hukum
agama.
Ilmu ini mencakup semua yang bermanfaat
bagi manusia seperti meliputi ilmu agama,
ilmu alam, ilmu sosial dan lain-lain. Ilmu-
ilmu ini jika dikembangkan dengan benar
dan baik maka memberikan dampak yang
positif bagi peradaban manusia. Misalnya,
perkembangan sains akan memberikan
kemudahan dalam lapangan praktikal
manusia.
Demikian juga perkembangan ilmu-ilmu
sosial akan memberikan penyelesaian
untuk pemecahan masalah-masalah di
dalam masyarakat. Jadi, mengiringi ilmu
dengan amal merupakan keharusan. Dalam
pandangan Khalil al-Musawi dalam buku
Bagaimana Menjadi Orang Bijaksana,
hubungan ilmu dengan amal dapat
difokuskan pada dua hal.
Pertama, ilmu adalah pemimpin dan
pembimbing amal perbuatan. Amal boleh
lurus dan berkembang bila didasari ilmu.
Berbuat tanpa didasari pengetahuan tidak
ubahnya dengan berjalan bukan di jalan
yang benar, tidak mendekatkan kepada
tujuan melainkan menjauhkan. Dalam
semua aspek kegiatan manusia harus
disertai dengan ilmu, baik itu yang berupa
amal ibadah mahu pun amal perbuatan
lainnya.
Dalam ibadah harus disertai dengan ilmu.
Jika ada orang yang melakukan ibadah
tanpa didasari ilmu tidak ubahnya dengan
orang yang mendirikan bangunan di
tengah malam dan kemudian
menghancurkannya di siang hari. Begitu
juga, hal ini pun berlaku pada amal
perbuatan yang lain, dalam berbagai
bidang. Memimpin sebuah negara,
misalnya, harus dengan ilmu. Negara yang
dipimpin oleh orang bodoh akan dilanda
kekacauan dan kehancuran.
Sedangkan kedua, sesungguhnya ilmu dan
amal saling beriringan. Barangsiapa
berilmu maka dia harus berbuat, baik itu
ilmu yang berhubungan dengan masalah
ibadah maupun ilmu-ilmu yang lain. Tidak
ada faedahnya ilmu yang tidak diamalkan.
Amal merupakan buah dari ilmu, jika ada
orang yang mempunyai ilmu tapi tidak
beramal maka seperti pohon yang tidak
menghasilkan manfaat bagi penanamnya.
Begitu pula, tidak ada manfaatnya ilmu
fikih yang dimiliki seorang fakih jika dia
tidak mengubahnya menjadi perbuatan.
Begitu juga, tidak ada faedahnya teori-teori
atau penemuan-penemuan yang
ditemukan seorang ilmuwan jika tidak
diubah menjadi perbuatan nyata. Kerana
wujud dari pengetahuan itu adalah amal
dan karya nyatanya.
Ilmu tanpa diiringi dengan amal maka
hanya berupa konsep-konsep saja. Ilmu
yang tidak dilanjutkan dengan perbuatan,
mungkin kita dapat menyebutnya sebagai
pengetahuan teoritis. Namun, apa
faedahnya ilmu teoritis jika kita tidak
menerjemahkannya ke dalam ilmu praktik,
dan kemudian meneruskannya menjadi
perbuatan yang mendatangkan hasil?
Jika ilmu tidak dipraktikkan, maka akan
memberikan dampak yang negatif. Salah-
satu penyakit sosial yang paling berbahaya
yang melanda berbagai umat– termasuk
umat Islam – adalah penyakit pemutusan
ilmu-khususnya ilmu-ilmu agama – dari
amal perbuatan, dan berubahnya ilmu
menjadi sekumpulan teori belaka yang jauh
dari kenyataan dan penerapan.
Padahal, kaedah Islam menekankan
bahawa ilmu senantiasa menyeru kepada
amal perbuatan. Keduanya tidak ubahnya
sebagai dua benda yang senantiasa
bersama dan tidak terpisah satu sama lain.
Jika amal memenuhi seruan ilmu maka
umat menjadi baik dan berkembang.
Namun jika tidak, maka ilmu akan
meninggalkan amal perbuatan, dan dia
akan tetap tinggal tanpa memberikan
faedah apa pun. Jika demikian nilai apa
yang dimiliki seorang manusia yang
mempunyai segudang teori dan
pengetahuan namun tidak
mempraktikkannya dalam dunia nyata.
Pertalian ilmu dengan amal tidak hanya
dituntut dari para pelajar agama dan para
ahli yang mendalami suatu ilmu, melainkan
juga dituntut dari setiap orang, baik yang
memiliki ilmu sedikit ataupun banyak.
Namun, tentunya orang-orang yang
berilmu memiliki tanggung jawab yang
lebih besar dalam hal ini, kerana mereka
memiliki kemampuan yang lebih.
Allah SWT berfirman di dalam surat Ash-
Shaff, ayat (2-3),“Wahai orang-orang
yang beriman, mengapa kamu mengatakan
apa-apa yang tidak kamu kerjakan.
Sungguh besar murka Allah kamu
mengatakan apa-apa yang tidak kamu
kerjakan.”
Jika kita memperhatikan ayat-ayat al-
Qur’an, nescaya kita akan menemukan
bahawa al-Qur’an senantiasa
menggandengkan ilmu dengan amal.
Makna ilmu diungkapkan dalam bentuk
kata iman pada banyak tempat, dengan
pengertian bahawa iman adalah ilmu atau
keyakinan.
Di antaranya ialah: “Demi waktu Asar,
sesungguhnya manusia berada dalam
kerugian. Kecuali orang-orang yang
beriman dan beramal saleh, dan saling
menasihati dalam kebenaran dan
kebajikan.” (Al-‘Ashr:1-3). Dalam ayat
lain dikatakan, “Sesungguhnya orang-
orang yang beriman dan beramal saleh,
bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi
tempat tinggal.” (Al-Kahfi: 107).
Demikian juga dengan ayat, “Orang-orang
yang beriman dan beramal saleh, bagi
mereka kebahagian dan tempat kembali
yang baik.” (Ar-Ra’d: 29)
Ayat-ayat tersebut menjelaskan tentang
betapa ilmu dan amal shaleh memiliki
kaitan yang erat yang tidak dapat
dilepaskan satu sama lain. Kerana
keduanya bagai dua keping mata wang,
yang saling memberi erti. Inilah yang
sejalan dengan ucapan Imam Ali Abi Thalib,
“Iman dan amal adalah dua saudara yang
senantiasa beriringan dan dua sahabat
yang tidak berpisah. Allah tidak akan
menerima salah satu dari keduanya kecuali
disertai sahabatnya.”
Dengan perspektif kesepaduan ilmu dan
amal, maka akan memberikan
perkembangan ke arah perbaikan dalam
kehidupan masyarakat. Masyarakat akan
berlumba-lumba dalam memberikan amal
shaleh satu sama lain. Imam Ali Abi Thalib
berkata, “Jangan sampai ilmumu menjadi
kebodohan dan keyakinanmu menjadi
keraguan. Jika engkau berilmu, maka
beramallah, dan jika engkau yakin maka
majulah.”
Dengan ilmu yang benar, serta amal shaleh
maka masyarakat bergerak dari kebodohan
menuju kepintaran, dari ketertinggalan
menuju kemajuan dan dari kehancuran
menuju kebangkitan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar